Makna Penggunaan Busana Adat Bali



Indonesia merupakan negeri yang kaya akan adat dan budaya. Banyak hal yang unik dan menarik yang kita temui disini. Indonesia teridiri dari 34 provinsi yang mana setiap provinsi itu memiliki adat dan budaya tersendiri yang menjadi ciri khas daerah itu.
Begitu juga dengan pakaian adatnya, sejatinya ada banyak sekali pakaian adat yang terdapat di negeri ini, mengingat terdapat banyaknya suku di Indonesia. Salah satu pakaian adat asal indonesia yaitu pakaian adat Bali. 
Pakaian adat Bali umumnya memang dipakai hanya pada saat sembahyang oleh para pemeluk agama hindu di Bali. Meskipun demikian, dalam aktivitas sehari-hari tidak jarang juga menemukan orang-orang bali yang memakai pakaian adat ini. Tidak ada nama khusus dari pakaian adat Provinsi Bali. Oleh sebab itu, ketika banyak orang luar menanyakan mengenai hal ini, masyarakat Bali pun pada umumnya akan kebingungan. Mereka hanya akan menyebut pakaian adat yang dipakainya dengan nama "pakaian adat Bali".
Pakaian adat bali ini memiliki 2 jenis, yakni jenis atau motif pakaian yang digunakan oleh kaum pria, dan jenis yang kedua ialah pakaian adat yang memang dibuat dengan desain untuk pemakaian para kaum wanita. Berikut dibawah ini ialah penjelasan tentang masing-masing jenis pakaian adat bali untuk pria dan wanita.


1. Pakaian Adat Bali Pria 
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena pria merupakan pemegang dharma atau kebenaran. Tinggi kamen putra kira-­kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan.
Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal­-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga.
Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah­-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.
Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (ikat kepala). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pendeta). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela­-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.
Bebidakan yang dikiri symbol dewa Brahma, yang kanan symbol dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan dewa Wisnu. Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

2. Pakaian Adat Bali untuk Wanita
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki­-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira­kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut.
Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai oleh pendeta wanita. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang dewa Tri Murti.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap daerah memiliki ornamen berbeda yang memiliki arti simbolis dalam pakaian adatnya masing-masing. Meskipun demikian, pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap tuhan atau Sang Hyang Widhi. Pakaian ini juga seringkali dipakai untuk membedakan tingkat kasta, yang merupakan buatan manusia itu sendiri. Di hadapan Maha Pencipta, manusia semua adalah sama derajatnya. Selain sebagai wujud penghormatan kepada sang pencipta, pakaian adat Bali merupakan suatu bentuk penghormatan kepada pengunjung/tamu yang datang. Ini adalah sesuatu yang umum, mengingat jika anda sebagai tamu maka akan merasa terhormat jika disambut oleh pemilik rumah yang berpakaian bagus dan rapi.

Popular posts from this blog

Mengapa Tidak Boleh Makan Ikan Jeleg/Gabus

Pentingnya Upacara Megedong-Gedongan

Apa Itu Kawitan?