Perayaan Siwalatri Generasi Muda Mulai Melenceng?



Sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut Prawaning Tilem Kapitu, umat hindu memperingati Hari Siwaratri. Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Siwarâtri juga sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati.
Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. (Gede Manik, Loc.Cit).
Perayaan Siwa Ratri, seperti yang dilaksanakan umat Hindu di Kota Singaraja dan sekitarnya, Kamis (26/01) sejak sore remaja belasan tahun yang umumnya masih mengenyam pendidikan itu sudah tampak mengenakan pakaian adat.
Siwaratri artinya malam Siwa. Jika diuraikan terdiri dari 2 kata, yaitu Siwa dan Ratri. Siwa dalam bahasa Sansekerta berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan dan juga Siwa dapat diartikan sebagai sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian.
Konon, padamulanya perayaan Siwa Ratri hanya dilakukan oleh kalangan tertentu, misalnya oleh Grhastin (orang yang sudah berkeluarga), pemangku (pinandita, pendeta), sulinggih (Brahmana). Tetapi setelah adanya lembaga PHDI, Siiwa Ratri diperkenalkan pada masyarkat umum, bahkan pada saat ini juga dirayakan oleh anak SD sekalipun.
Kemudian apa yang terjadi? Siwa Ratri hanya sekedar seremonial ,bahkan terjadi “pesta seks ketika malam Siwa Ratri” (Ini baru satu kasus yang saya tahu dari pantauan hingga lewat tengah malam). Kasus seperti ini, adalah penyimpangan Sosial Perayaan Siwaratri.
Tidak jauh beda dengan perayaan Saraswati semalam suntuk yang dilanjutkan esok pagi Banyu Pinaruh di pantai.

Pantauan Dewata News.com, hingga lewat tengah malam remaja putra, bahkan putri masih dengan pakaian adat bukannya ada dalam acara perayaan Siwa Ratri, baik di sekolah maupun tempat-tempat merayakan. Tapi, justru dimanfaatkan begadang di jalanan, depan warung maupun pasar modern. Lebih parah lagi dari penyimpangan sosial perayaan Siwa Ratri, dua insan lawan jenis atau sepasang remaja tanpa sadar menyelinap di rumah penginapan.

Ditengah masyarakat berkembang, bahwa merayakan Siwa Ratri sebagai Malam Penebusan Dosa Ataukah Menambah Dosa?.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, sebaiknya perayaan Siwa Ratri dilarang bagi mereka yang masih muda atau remaja (belum sadar). Kita kembalikan seperti dulu, Siwa Ratri hanya cocok dirayakan oleh mereka yang sudah dewasa (sadar), baik dewasa secara spiritual maupun umur. Karena apabila dirayakan oleh mereka yang belum dewasa secara spiritual dan juga umur, perayaan Siwa Ratri, justru disalahgunakan untuk mencari pacar, seks bebas, bukan dijadikan moment mencari Tuhan.
Perayaan Siwa Ratri yang suci dibiarkan dinodai oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Berkedok merayakan Shiwa Ratri tetapi hanya sekedar seremonial belaka dan bersuka ria bersama kekasih (khusus yang remaja), bahkan melakukan tindakan senonoh pada perayaan Siwa Ratri yang memang dirayakan semalam suntuk.
Kembali pada hakekat merayakan Siwa Ratri, mari kita memburu Tuhan dan kebajikan dengan membunuh musuh-musuh dalam diri dengan memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar mampu jagra (tidak tidur) yang bermakna selalu mawas diri “eling lan waspada”, mona brata (tidak berbicara) yang bermakna selalu mengendalikan pembicaraan. Dan upawasa (puasa) yang bertujuan mengendalikan makan dan minum. Serta berjapa yang bermakna mengidungkan nama suci Tuhan, khususnya Japa Mantra Shiwa “Om Namah Siwa Ya”.
Semua itu seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya pada perayaan Siwa Ratri. 


Sumber:

http://www.dewatanews.com/2017/01/perayaan-siwaratri-generasi-muda-mulai.html#ixzz54AFoMfGe

Popular posts from this blog

Mengapa Tidak Boleh Makan Ikan Jeleg/Gabus

Apa Itu Kawitan?

Pentingnya Upacara Megedong-Gedongan