Sejarah Dadia Pande di Desa Kerobokan


Desa kerobokan terletak di kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Seluruh penduduknya beragama Hindu dan sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan. Selain itu juga ada sekelompok masyarakat memiliki profesi sebagai pandai besi atau di Bali dikenal dengan klen/soroh Pande.

Klen/soroh pande merupakan sekelompok keluarga yang memiliki keahlian sebagai perajin logam seperti emas, besi, perunggu dan jenis logam lainnya. Biasanya kelompok ini terdapat di masing-masing desa di Bali.

Kelompok pande yang terdapat di Desa Kerobokan berasal dari Kabupaten Karangasem tepatnya dari Desa Basangalas dan Desa Culik, Bali. Secara tertulis tidak disebutkan kapan kelompok pande mendiami Desa Kerobokan, namun menurut penuturan dari tokoh-tokoh setempat, klen/soroh Pande sudah ada di Desa Kerobokan saat Gunung Agung pertama kali meletus yaitu pada tahun 1800. Kemungkinan pada saat itu mereka ingin menyelamatkan diri  ke daerah barat yaitu Buleleng, mengingat pada saat itu terjadi kerusakan parah di Karangasem akibat letusan Gunung Agung.

Sama seperti warga pendatang lainnya, mereka hidup berdampingan secara rukun dengan warga asli setempat. Karena memiliki keahlian khusus sebagai pandai besi maka keberadaan mereka sangat dibuuhkan oleh warga setempat khususnya dalam bidang persenjataan yang banyak dibutuhkan oleh warga setempat seperti pisau, sabit, palu dan lain sebagainya.

Selain dalam bidang logam, warga pande juga ikut berpartisifasi dalam bidang lainya seperti kegiatan sosial dan kegiatan upacara yadnya. Karena sudah begitu akurnya kehidupan warga pande dengan warga setempat dan sudah menjadi bagian keluarga Desa Kerobokan maka warga pande mendirikan sebuah pura keluarga atau disebut dengan merajan.

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anggota yang menjadi pengempon merajan saat itu. Namun dengan semangat dan tekad yang kuat serta atas anugerah dari Ida Bhatara mereka dapat mengarungi kehidupan pada saat itu.

Sekitar tahun 90'an terjadi konflik internal antar keluarga dadya pande. Hal itu terjadi karena perbedaan pendapat mengenai kawitan yang dianut pada saat itu. Ada sebagian keluarga pande saat itu tidak  lagi mengakui sebagai soroh/klen Pande sehingga inilah yang menyebabkan terjadinya konflik.

Karena permasalahan ini terjadi berlarut-larut dan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah maka orang-orang yang masih percaya bahwa dirinya sebagai soroh/klen Pande keluar dari Dadya sebelumnya yang sudah berganti soroh/klen menjadi soroh/klen A. Mengingat pada saat itu lahan tempat berdirinya Merajan/Sanggah dimiliki oleh keluarga yang sudah tidak mengakui sebagai soroh pande maka sebagian keluarga pande lebih memilih untuk menibggalkan Merajan/Sanggah dengan perasaan sedih.

Dengan keterbatasannya lahan yang dimiliki keluarga Pande pada saat itu dan mereka tidak bisa membangun Merajan/Sanggah langsung, maka untuk tetap menjaga kebersamaan antar warga pande mereka melaksanakan persembahyangan di Sanggah Kemulan Saja yang terdapat di area rumah salah satu keluarga Pande. Mengingat pada saat itu semua warga pande tergolong keluarga miskin atau tidak mampu sehingga mereka tidak bisa membangun Merajan/Sanggah seperti pada umumnya.

Namun sekitar Tahun 2000'an warga pande dapat membangun Merajan/Sanggah dengan ukuran kecil, karena keterbatasannya lahan yang dimiliki. Dengan semangat warga pande yang saat itu berjumlah kira-kira 10 KK mereka dapat membangun Merajan/Sanggah walaupun tidak berukuran besar.

Sampai saat ini jumlah anggota Dadia Pande di Desa Kerobokan kurang lebih 30 KK. Sebagaian besar berprofesi sebagai tukang bangunan dan mereka hidup dengan rukun menjalankan bhisama leluhurnya terdahulu.


Popular posts from this blog

Mengapa Tidak Boleh Makan Ikan Jeleg/Gabus

Pentingnya Upacara Megedong-Gedongan

Apa Itu Kawitan?